Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Pesan Natal 2010

"Bangsa Indonesia belum sepenuhnya mengalami terang yang diberikan Allah. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian bagi umat Kristiani, bahwa sudah saatnya mereka tidak lagi terjebak dalam sikap hidup yang dibatasi dengan ritual atau formalitas saja. Keluarlah melihat dunia nyata dan jadilah terang bagi sesama. Maka, jika setiap umat bisa menunjukkan sikap hidup sebagai warga negara Indonesia yang sejati, hakikatnya dia juga sudah menjadi seorang Kristiani sejati,” (Mgr Martinus D Situmorang - Ketua KWI).

Akhir-akhir ini sering dapat dibaca, dilihat, dan didengar di media massa ulasan mengenai watak atau karakter bangsa.Tidak sedikit pula seminar yang diadakan mengenai topik itu. Dalam salah satu seminar yang diadakan di Semarang dikatakan dengan lugas bahwa kondisi (sebagian) bangsa kita cenderung mengarah pada karakter Kurawa (Kompas, 28 November 2010), yang dalam pengertian umum berarti jelek, jahat, licik, serakah, arogan, culas, tidak punya hati—semuanya demi kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.

Dalam kisah kelahiran Yesus dapat juga dijumpai pribadi-pribadi yang berwatak serupa. Yang paling menonjol adalah Herodes Agung. Ia adalah orang yang begitu gila hormat dan kuasa, sampai-sampai ia memusnahkan silsilahnya untuk menghapuskan jejak jati dirinya yang sesungguhnya.

Setiap orang yang dianggap mengancam kepentingannya disingkirkan, termasuk istri dan anaknya. Inilah yang menjadi latar belakang kisah pembunuhan anak-anak yang diceritakan dalam Mat 2:16-18.

Masih bisa disebut nama lain, yaitu Arkhelaus (Mat 2:22), anak Herodes Agung.Watak serakahnya ada di belakang kisah perumpamaan mengenai uang mina (Luk 19:11-27). Ia dinobatkan menjadi raja oleh Pemerintah Romawi, tentu dengan suap yang hebat karena rakyatnya sendiri sebenarnya membenci dia.
Oleh karena itu, ketika berhasil menjadi raja, ia memeras rakyat, tentu dengan maksud untuk memperoleh kembali uang yang ia gunakan untuk menyuap.

Jati diri batin Yesus yang lahir dapat dipandang sebagai kontras terhadap pribadi-pribadi seperti itu. Ia lahir di palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2:7).
Kendati tempat kelahirannya menurut pendapat umum tidak terhormat, pribadinya tetaplah mulia. Bukan tempat lahir yang menentukan jati diri atau kehormatan seseorang, melainkan diri batinnya. Ia lahir dari garis yang sering disebut sisa Israel yang menghayati spiritualitas orang-orang miskin Allah.

Mereka adalah orang-orang yang hidup berdasarkan janji, setia pada cita-cita awal yang mulia untuk menjadi umat yang hidup menurut jalan-jalan Tuhan. Dalam bahasa sehari-hari, mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah kehilangan idealisme awal dan tidak pernah mau menggantinya dengan sekadar kekuasaan, gengsi, atau apa pun yang lain.

Mereka bukan orang-orang oportunis atau sekadar puas dengan citra lahiriah. Orang-orang miskin Allah ini adalah orang-orang yang sungguh beriman, bukan sekadar taat beragama. Mereka tidak seperti kaum Zelot yang dengan alasan mencintai hukum Allah, dengan tangan dingin membunuh orang-orang yang mereka anggap mengkhianati Allah.

Mereka juga tidak sama dengan orang-orang Farisi yang dengan dalih agama menindas dan menganiaya yang mereka anggap orang-orang pendosa. Mereka juga bukan seperti orang-orang Esseni yang membenci sesama warga bangsa dengan dalih agama. Kelompok-kelompok yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang merasa bahwa Allah di pihak mereka, tetapi nyatanya mereka tidak mampu mengambil bagian dalam bela rasa Allah kepada manusia, padahal bela rasa sifat Allah yang utama (Luk 6:36; 2 Kor 1:3).

Dalam arus spiritualitas orang-orang miskin Allah inilah Yesus lahir, bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padanya (Luk 2:40). Selanjutnya pada waktunya Yesus akan mengatakan, ”Hendaklah kamu murah hati (berbela rasa, compassionate) seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36). Bela rasa inilah yang ditunjukkan Yesus sejak lahir sampai akhir hidupnya sebagaimana dapat dibaca dalam Injil.

Berkali-kali dikatakan bahwa Yesus tergerak oleh bela rasa (Mt 14:14; Mrk 6:34; Luk 7:13). Bela rasa adalah jati diri batinnya. Tergerak oleh bela rasa menunjuk pada inti pribadi, diri batin, pusat hidup manusia yang paling dalam atau dalam satu kata: hati. Dari hati itulah semua yang baik, menyejahterakan, yang menyelamatkan berasal, tumbuh, dan berkembang.

Di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai oleh herodes-herodes yang berwatak Kurawa itulah Yesus lahir, bertumbuh dan berkembang. Dia menjadi terang besar yang datang ke tengah-tengah dunia yang gelap (bdk Yoh 1:9). Selain Yesus yang dengan bela rasanya menjadi Sang Terang, ada terang-terang kecil lain yang juga bersinar.

Mereka adalah orang-orang majus dari Timur yang langkah-langkahnya dipimpin oleh bintang (Mat 2:1-12). Ada pula para gembala sederhana yang jalan-jalannya dituntun oleh malaikat (Luk 2:8-20). Mereka ini adalah kontras-kontras kecil, pribadi-pribadi yang jati dirinya tidak ditentukan oleh kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.

Mereka ini adalah terang-terang kecil yang memancarkan Yesus Sang Terang yang sesungguhnya. Terang-terang kecil seperti ini pun ada banyak tersebar di seluruh negeri kita tercinta: terang kecil itu tampak dalam diri sekian banyak relawan-relawati yang tanpa pamrih membantu saudari-saudara yang terdampak oleh bencana; dalam diri pribadi-pribadi yang berusaha membebaskan saudari-saudara mereka dari isapan lintah darat; dalam diri orang-orang yang dengan tekun mengusahakan pendidikan bagi masyarakat miskin atau terpencil; dan sekian banyak orang yang melakukan usaha mulia yang lain.

Mereka ini bekerja keras dan diam-diam dalam hati berkata, ”Aku bukanlah kekuasaan, kemenangan, atau keuntungan yang dapat kuperoleh; aku adalah hatiku yang kubagikan dalam bela rasa.

Selamat Natal 2010.
I Suharyo - Uskup Keuskupan Agung Jakarta


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar