"Bangsa Indonesia belum
sepenuhnya mengalami terang yang diberikan Allah. Inilah yang
seharusnya menjadi perhatian bagi umat Kristiani, bahwa sudah saatnya
mereka tidak lagi terjebak dalam sikap hidup yang dibatasi dengan ritual
atau formalitas saja. Keluarlah melihat dunia nyata dan jadilah terang
bagi sesama. Maka, jika setiap umat bisa menunjukkan sikap hidup sebagai
warga negara Indonesia yang sejati, hakikatnya dia juga sudah menjadi
seorang Kristiani sejati,” (Mgr Martinus D
Situmorang - Ketua KWI).
Akhir-akhir ini sering dapat dibaca, dilihat, dan didengar di media
massa ulasan mengenai watak atau karakter bangsa.Tidak sedikit pula
seminar yang diadakan mengenai topik itu. Dalam salah satu seminar yang diadakan di Semarang dikatakan dengan
lugas bahwa kondisi (sebagian) bangsa kita cenderung mengarah pada
karakter Kurawa (Kompas, 28 November 2010), yang dalam pengertian umum
berarti jelek, jahat, licik, serakah, arogan, culas, tidak punya
hati—semuanya demi kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.
Dalam kisah kelahiran Yesus dapat juga dijumpai pribadi-pribadi yang
berwatak serupa. Yang paling menonjol adalah Herodes Agung. Ia adalah
orang yang begitu gila hormat dan kuasa, sampai-sampai ia memusnahkan
silsilahnya untuk menghapuskan jejak jati dirinya yang sesungguhnya.
Setiap orang yang dianggap mengancam kepentingannya disingkirkan,
termasuk istri dan anaknya. Inilah yang menjadi latar belakang kisah
pembunuhan anak-anak yang diceritakan dalam Mat 2:16-18.
Masih bisa disebut nama lain, yaitu Arkhelaus (Mat 2:22), anak
Herodes Agung.Watak serakahnya ada di belakang kisah perumpamaan
mengenai uang mina (Luk 19:11-27). Ia dinobatkan menjadi raja oleh
Pemerintah Romawi, tentu dengan suap yang hebat karena rakyatnya sendiri
sebenarnya membenci dia.
Oleh karena itu, ketika berhasil menjadi raja, ia memeras rakyat,
tentu dengan maksud untuk memperoleh kembali uang yang ia gunakan untuk
menyuap.
Jati diri batin Yesus yang lahir dapat dipandang sebagai kontras
terhadap pribadi-pribadi seperti itu. Ia lahir di palungan karena tidak
ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2:7).
Kendati tempat kelahirannya menurut pendapat umum tidak terhormat,
pribadinya tetaplah mulia. Bukan tempat lahir yang menentukan jati diri
atau kehormatan seseorang, melainkan diri batinnya. Ia lahir dari garis
yang sering disebut sisa Israel yang menghayati spiritualitas
orang-orang miskin Allah.
Mereka adalah orang-orang yang hidup berdasarkan janji, setia pada
cita-cita awal yang mulia untuk menjadi umat yang hidup menurut
jalan-jalan Tuhan. Dalam bahasa sehari-hari, mereka ini adalah
orang-orang yang tidak pernah kehilangan idealisme awal dan tidak pernah
mau menggantinya dengan sekadar kekuasaan, gengsi, atau apa pun yang
lain.
Mereka bukan orang-orang oportunis atau sekadar puas dengan citra
lahiriah. Orang-orang miskin Allah ini adalah orang-orang yang sungguh
beriman, bukan sekadar taat beragama. Mereka tidak seperti kaum Zelot yang dengan alasan mencintai hukum
Allah, dengan tangan dingin membunuh orang-orang yang mereka anggap
mengkhianati Allah.
Mereka juga tidak sama dengan orang-orang Farisi yang dengan dalih
agama menindas dan menganiaya yang mereka anggap orang-orang pendosa. Mereka juga bukan seperti orang-orang Esseni yang membenci sesama
warga bangsa dengan dalih agama. Kelompok-kelompok yang disebut
terakhir ini adalah orang-orang yang merasa bahwa Allah di pihak mereka,
tetapi nyatanya mereka tidak mampu mengambil bagian dalam bela rasa
Allah kepada manusia, padahal bela rasa sifat Allah yang utama (Luk
6:36; 2 Kor 1:3).
Dalam arus spiritualitas orang-orang miskin Allah inilah Yesus lahir,
bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah
ada padanya (Luk 2:40). Selanjutnya pada waktunya Yesus akan mengatakan, ”Hendaklah kamu
murah hati (berbela rasa, compassionate) seperti Bapamu adalah murah
hati” (Luk 6:36). Bela rasa inilah yang ditunjukkan Yesus sejak lahir
sampai akhir hidupnya sebagaimana dapat dibaca dalam Injil.
Berkali-kali dikatakan bahwa Yesus tergerak oleh bela rasa (Mt 14:14;
Mrk 6:34; Luk 7:13). Bela rasa adalah jati diri batinnya. Tergerak
oleh bela rasa menunjuk pada inti pribadi, diri batin, pusat hidup
manusia yang paling dalam atau dalam satu kata: hati. Dari hati itulah
semua yang baik, menyejahterakan, yang menyelamatkan berasal, tumbuh,
dan berkembang.
Di tengah-tengah masyarakat yang dikuasai oleh herodes-herodes yang
berwatak Kurawa itulah Yesus lahir, bertumbuh dan berkembang. Dia menjadi terang besar yang datang ke tengah-tengah dunia yang
gelap (bdk Yoh 1:9). Selain Yesus yang dengan bela rasanya menjadi Sang
Terang, ada terang-terang kecil lain yang juga bersinar.
Mereka adalah orang-orang majus dari Timur yang langkah-langkahnya
dipimpin oleh bintang (Mat 2:1-12). Ada pula para gembala sederhana
yang jalan-jalannya dituntun oleh malaikat (Luk 2:8-20). Mereka ini
adalah kontras-kontras kecil, pribadi-pribadi yang jati dirinya tidak
ditentukan oleh kekuasaan, kemenangan, dan keuntungan.
Mereka ini adalah terang-terang kecil yang memancarkan Yesus Sang
Terang yang sesungguhnya. Terang-terang kecil seperti ini pun ada
banyak tersebar di seluruh negeri kita tercinta: terang kecil itu tampak
dalam diri sekian banyak relawan-relawati yang tanpa pamrih membantu
saudari-saudara yang terdampak oleh bencana; dalam diri pribadi-pribadi yang berusaha membebaskan saudari-saudara
mereka dari isapan lintah darat; dalam diri orang-orang yang dengan
tekun mengusahakan pendidikan bagi masyarakat miskin atau terpencil; dan
sekian banyak orang yang melakukan usaha mulia yang lain.
Mereka ini bekerja keras dan diam-diam dalam hati berkata, ”Aku
bukanlah kekuasaan, kemenangan, atau keuntungan yang dapat kuperoleh;
aku adalah hatiku yang kubagikan dalam bela rasa.
Selamat Natal 2010.
I Suharyo - Uskup Keuskupan Agung Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar