By: Harri Choice 26
Permenungan Ensiklik 1 Paus Benediktus XVI, Sumber: “Chatolic for a reason IV”, penerbit
Dioma; buku pinjaman dari tetanggaku hehehe...
Orang banyak terkejut ketika Paus
mengeluarkan ensiklik yang pertama ini. Deus Caritas Est; misteri cinta.
Baru kali ini seorang Paus secara khusus menulis Surat Eksiklik mengenai
Hakikat Cinta. (myop) Surat ini sangat dibutuhkan sebagai dasar dalam relasi
pacaran, perkawinan dan keluarga.
Paus memulai ajarannya dengan menjelaskan betapa
dunia moderen sekarang telah terjadi kerancuan tentang apa artinya cinta.
“Dewasa ini, istilah kata “cinta” telah menjadi kata yang paling sering
disalahgunakan, suatu kata yang kita beri arti yang sangat beragam (no. 2).
Kebudayaan sekarang orang dapat melukiskan perasaannya dengan kata “cinta”.
“Aku cinta Guinness”, “Aku cinta balapan motoGP” sama seperti ketika untuk
mengungkapkan komitmen perkawinan pada istrinya “Aku cinta kamu”. Tidaklah
mengherankan kata “cinta” sekarang ini kehilangan sebagian maknanya yang
mendalam.
Paus menjelaskan dua kata kunci untuk melukiskan
cinta: eros dan agape. Eros
pada umumnya diartikan cinta duniawi, sedangkan agape adalah cinta “yang
didasarkan pada iman dan dibentuk oleh iman”. Eros adalah cinta yang ingin
memiliki, cinta yang mencari kepuasan diri sendiri, kenikmatan sendiri dan
keuntungan sendiri dalam relasi; sedangkan agape adalah cinta yang rela
berkorban, yang tanpa pamrih mengupayakan kebaikan orang lain. Eros adalah
“cinta antara laki-laki dan perempuan yang tanpa direncanakan atau dikehendaki
muncul dalam hati (no. 3). Sedangkan agape menuntut banyak usaha penyangkalan
diri dan komitmen kepada orang lain. Bagi Paus Benediktus XVI, eros dan agape
mengungkapkan dua segi dari realita cinta yang tunggal. Dan sangatlah bahaya kalau dua segi ini dipisahkan satu
sama lain.
Paus menandaskan bahwa Eros (perasaan-perasaan romantis, nafsu seksual) tidak dengan sendirinya buruk. Tetapi ia mengecam pemahaman cinta sebagai pemahaman yang “menyesatkan dan menghancurkan” (no.4), karena pemahaman itu hanya berfokus pada perasaan-perasaan dan hawa nafsu, dan mengabaikan segi pengorbanan diri dari cinta yang mengupayakan kebahagiaan orang lain (agape). “Cinta bukan melulu perasaan” tulisnya. “Perasaan itu datang dan pergi. Perasaan dapat menjadi percikan pertama yang mengagumkan, tetapi itu belum menjadi pemenuhan cinta” (no.17).
Paus menandaskan bahwa Eros (perasaan-perasaan romantis, nafsu seksual) tidak dengan sendirinya buruk. Tetapi ia mengecam pemahaman cinta sebagai pemahaman yang “menyesatkan dan menghancurkan” (no.4), karena pemahaman itu hanya berfokus pada perasaan-perasaan dan hawa nafsu, dan mengabaikan segi pengorbanan diri dari cinta yang mengupayakan kebahagiaan orang lain (agape). “Cinta bukan melulu perasaan” tulisnya. “Perasaan itu datang dan pergi. Perasaan dapat menjadi percikan pertama yang mengagumkan, tetapi itu belum menjadi pemenuhan cinta” (no.17).
Saat ini, kita hidup di zaman dimana cinta
pertama-tama dikaitkan dengan perasaan dan nafsu seksual. Film-film populer,
tayangan televisi dan nyanyian-nyanyian cinta terus-menerus merangsang daya
hayal perhatian dan menjerumuskan kita pada pemikiran bahwa kebahagiaan
tertinggi dapat kita reguk hanya kalau kita hanyut dalam hawa nafsu dan
emosi-emosi belaka. Mungkin kemudian muncul pertanyaan berikut: mengapa saya harus menekan perasaan-perasaan itu (eros),
padahal perasaan-perasaan itu mengantar saya kepada cinta dan kebahagiaan?
Ajaran-ajaran Gereja
mengenai seksualitas sama sekali tidak menghalangi cinta! Ajaran itu justru mau
membantu mewujudkan cinta yang sejati dan lestari. Gereja menantang kita untuk membangun hidup kita tidak atas
dasar cinta yang rapuh dan tidak stabil yang ditemukan pertama-tama dalam
perasaan yang datang dan pergi (eros), tetapi atas kasih (agape) yang bertahan,
teguh dan rela menyerahkan diri, yakni cinta yang paling didambakan oleh hati
kita.
Paus Benediktus XVI dengan bijaksana mengingatkan
kita bahwa hanyut dalam nafsu dan emosi eros inilah yang menghalangi
berkembangnya cinta sejati. Eros bisa membangkitkan
harapan akan kebahagiaan dan dambaan luhur untuk membangun persekutuan dengan
orang lain, tetapi ia perlu dilatih, diarahkan dan dimurnikan. Eros yang
tidak diatur akan mendatangkan kehancuran. Sedari hakikatnya eros itu egois,
hanya memburu perasaan romantis dan kenikmatan sensual.
Seorang yang tetap
berada pada tahap eros yang tidak teratur, tidak akan mampu untuk benar-benar
mencintai orang lain tanpa pamrih. Ia
begitu hanyut dalam pemuasan hawa nafsu dan rasa nikmat dalam suatu relasi;
dalam situasi itu ia tidak mampu untuk sungguh-sungguh mengusahakan kebaikan
serta kebahagiaan pasangannya.
“ eros perlu ditertibkan dan dimurnikan, agar
cinta tidak sekedar menjadi perburuan kenikmatan tetapi menjadi suatu
pencicipan.. kebahagiaan yang didambakan oleh setiap insan (no. 4).
Disini Paus mengajarkan bahwa eros harus dimurnikan agar menjadi matang dan mencapai
kepenuhan cinta. Satu-satunya jalan untuk memurnikan eros adalah lewat agape –
cinta yang rela menyerahkan diri. Cinta adalah jalan keluar dari egoisme
diri sendiri. “Suatu eksodus yang terus menerus keluar dari egoisme; yang
tertutup hanya pada diri sendiri, menuju pembebasannya lewat penyerahan diri”
(no. 6).
Kebahagiaan tertinggi atas dorongan eros secara
paradoks ditemukan hanya apabila kita mau keluar dari pamrih pribadi; rela
‘memberi” demi kebahagiaan orang lain. Inilah cinta agape. “Kini cinta menjadi
keprihatinan dan kepedulian terhadap orang lain. Ia tidak hanya mencari
kepuasan diri sendiri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan sendiri;
sebaliknya ia mengupayakan kebahagiaan orang lain yang dikasihi… ia siap,
bahkan ingin, berkorban” (no. 6)
Semakin dalam agape
masuk kepercaturan, semakin nyata eros, dengan kecenderungan-kecenderungan
pribadinya, disembuhkan. Semakin besar kerelaan seseorang untuk
mengorbankan kenyamanan, kesukaan dan kenikmatanya sendiri demi kebahagiaan
orang yang dikasihi, semakin kuatlah relasi yang akan terbangun. Sungguh, eros
dan agape tidak pernah sama sekali dimaksudkan untuk dipisahkan. Nafsu yang
muncul dari eros sendiri dimaksudkan untuk membuka cinta agape yang rela
berkorban dan lebih memerhatikan orang lain.
Bisa jadi eros mula-mula bersifat tamak dan
terlalu menuntut. Tapi berkat pesona janji agung akan kebahagiaan, dalam
mendekati orang lain, ia akan semakin kurang memerhatikan diri sendiri, semakin
mengupayakan kebahagiaan orang lain, semakin peduli terhadap orang yang
dicintai, selalu memberikan dirinya. Dengan demikian, unsur
agape masuk ke dalam cinta. Kalau tidak demikian, eros akan semakin miskin,
bahkan kehilangan hakikatnya.(no.7)
Paus menegaskan, dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, manusia tidak
dapat menghayati cinta agape yang rela berkorban. “Tidak mungkin ia
selalu memberi, ia harus juga menerima” tulisnya (no.7)
Oleh karena itu, kalau kita ingin mencintai orang lain, kita harus terus
menerus kembali kepada sumber utama dari agape dalam kehidupan kita sendiri;
Yesus Kristus. Kita hanya akan mampu sungguh
mencintai orang lain kalau kita mampu mereguk cinta Allah sendiri.
Kini kita sampai pada segi yang
paling revolusioner dari ensiklik ini; cara Paus menjelaskan cinta Allah
sebagai eros. Kitab Suci sungguh mengungkapkan Allah sebagai kuasa ilahi,
sumber segala ciptaan dan asas penataan seluruh alam semesta. Tetapi Kitab Suci
juga menunjukkan kepada kita bahwa Allah Pencipta yang mahakuasa itu sekaligus
pecinta yang bergelora, yang mencintai kita secara pribadi “dengan segala
gairah cinta yang sejati” (no.10).
Kitab Suci menggunakan banyak
gambaran untuk melukiskan hubungan Allah dengan manusia. Gambaran yang paling
mesra adalah Mempelai laki-laki. Didalam Perjanjian Lama, Yahweh datang kepada
Israel bukan hanya sebagai Tuhan, tetapi paling mengesankan, sebagai Mempelai
laki-laki.
Tetapi Kitab Suci juga menunjukkan
bahwa eros ilahi disempurnakan sepenuhnya dalam
agape. Kita dapat melihat khususnya dalam cara Allah mengampuni
dosa-dosa Israel . Ketika Israel menjadi “pezinah” dengan melanggar perjanjian
dengan Allah dan beribadat kepada dewa-dewa lain, keadilan insani menyimpulkan
bahwa Israel harus dihukum. Hukum Musa sendiri menyimpulkan bahwa kalau Israel
melanggar perjanjian dengan Allah, ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa
kafir dan dikirim ke pembuangan serta perbudakan.
Tetapi justru disinilah cinta Allah
diungkapkan sebagai sesuatu yang jauh lebih besar daripada cinta insani. Lihat
dari kitab Hosea sebagai berikut; dengan indah ayat-ayat ini melukiskan gairah
cinta Allah kepada Israel demikian besar sehingga mengatasi hukuman adil yang
atas dasar hukum yang seharusnya ditimpakan kepada mereka:
Masakan Aku akan
membiarkan engkau, hai Efraim?
Masakan Aku menyerahkan
engkau, hai Israel ?....
Masakan Aku membiarkan
engkau seperti Adam, dan membuat engkau seperti Zeboim?
Dalam diri-Ku, hati-Ku
berbalik, belas kasih-Ku bangkit serentak!!
Aku tidak akan
melaksanakan murka-Ku yang menyala-nyala itu,
Tidak akan membinasakan
Efraim lagi.
Sebab Aku ini Allah dan
bukan manusia,
Yang Kudus
ditengah-tengahmu, dan aku tidak datang untuk menghanguskan.
(Hos 11:8-9)
Sungguh mengagumkan, cinta Allah
kepada Israel demikian kuat sehingga mengatasi keadilan-Nya. Allah sedemikian
menghendaki bersatu dengan umatNya sehingga Ia tidak dapat menyerahkan Israel
kepada musuh-musuhnya untuk selama-lamanya. Paus menjelaskan, “Gelora Allah
bagi umat-Nya… sekaligus adalah cinta yang mengampuni. Cinta ini sedemikian besar sehingga membuat Allah berpaling
melawan diri-Nya sendiri, cinta-Nya melawan keadilan-Nya” (no.10).
Dengan demikian, disini eros Allah diungkapkan sebagai agape.
Paus menunjukkan bahwa kutipan dari
Hosea ini menggambarkan misteri salib, tempat eros dan agape diungkapkan secara
paling penuh. Allah sedemikian mencintai umat manusia
sehingga Ia dengan penuh gairah mengejar kita, menjadi satu dengan kita, dan
bahkan mengikuti kita ke alam kematian, dengan menyerahkan Diri samasekali di
Kalvari sehingga kita dapat didamaikan dengan Dia. Maka pada Jumat
Agung, cinta Allah yang bergelora (eros) ditunjukkan dalam cinta yang
sepenuhnya rela berkorban dan rela menyerahkan diri (agape). “Kematian Allah disalib adalah puncak dari keberpalingan
Allah melawan diriNya sendiri, disini Ia memberikan diriNya untuk membangkitkan
dan menyelamatkan manusia. Inilah cinta dalam bentuknya yang paling
radikal” (no.12)
Luar biasa khan eros dan agape Tuhan
terhadap kita, sampai-sampai Allah pun berpaling melawan diriNya sendiri, untuk
membangkitkan dan menyelamatkan kita umatNya. (myop)
Ooo jadi yg namanya cinta seperti itu.. Baru mudeng aku
BalasHapusKalau di Kitab Suci, "Cinta" itu hukum yg pertama dan terutama. Jadi "Cinta" adalah perintah dari Sang Pemberi Kehidupan, Asal/Sumber dari segala Cinta.
BalasHapus