Dan ketika anda sebagai anak meninggalkan dunia ini, saya
hanya berharap anda “pulang kerumah” dengan hati yang memaafkan meski didetik
yang paling akhir sekalipun.
Anak memiliki tanggungjawab tak hanya berteriak, melainkan
juga mampu menguasai diri untuk merangkul kembali dengan rasa maaf dan cinta
tak berkurang.
Manajer iklan ditempat klien saya bekerja memiliki hubungan
persaudaraan yang teramat rukun. Ia seorang wanita, lahir sebagai anak pertama
dengan tiga adik. Dua wanita dan yang paling bontot seorang pria muda berusia
belasan tahun, yang kalau tidur masih bisa memeluk salah satu dari ketiga
kakaknya.
Rukun
Kerukunan itu tak berhenti saat anak ketiga menikah, bahkan
dengan ipar mereka. Dalam kasus-kasus tertentu, dimana salah satunya
membutuhkan bantuan, kakak beradik itu siap mengulurkan bala bantuannya. Menurut
cerita si sulung, adiknya yang kedua adalah manusia yang pemberani dalam
keluarga. “Dia itu satpam keluarga kita mas.”
Cerita itu saya dengarkan saat kami makan malam bersama
tanpa kehadiran sibontot dan berbincang sampai nyaris tengah malam. Sejuta cerita
yang tak ada habisnya. Kami berpisah di lobi hotel. Kakak beradik itu pulang dalam
satu taksi dan berencana menginap di rumah ibunya. “Seneng deh kalau sudah
pulang ke rumah Mama. Adik saya yang ketiga dan suaminya tingga bareng, jadi
masih bisa ketemuan. Ramai deh Mas.” Jelas si sulung. Ia masih melanjutkan
lagi. “Si satpam mau menikah bulan September dan diboyong ke negeri orang. Saya
sudah ngebayang akan kehilangan dia, Mas.”
Taksi membawa pulang saya ke rumah menembus malamnya
Jakarta. Kalau sudah duduk dengan perut penuh, biasanya kelopak mata selalu
saja beraksi mau tertutup. Namun, untuk sesaat, hal itu tak terjadi. Kepala ini
dipenuhi cerita kerukunan kakak beradik itu, yang membuat tersenyum sendiri
karena saya ini memiliki kakak dan adik, tinggal berjauhan, dan tak pernah
merasa kangen meski hubungan kami baik-baik saja.
Kemudian saya menyimpulkan sendiri sebuah perjalanan
kehidupan keluarga. Ya, saya yang menyimpulkan, saya yang tak pernah
berkeluarga ini. Begini pemikiran sok tahu itu.
“Put yourself in the same shoes”
Ayah bersama ibu bisa saja menjadi kepala rumah tangga dan
menentukan aturan main didalam perjalanan sebuah keluarga. Akan tetapi,
memiliki perjalanan kehidupan keluarga yang harmonis tak semata-mata dibebankan
kepada orangtua, tetapi juga bagaimana anak-anak membantu mengorganisasi perjalanan itu.
Anak memiliki tanggungjawab tak hanya berteriak, melainkan
juga mampu menguasai diri untuk merangkul kembali dengan rasa maaf dan cinta
tak berkurang. Saya teringat kalau manusia itu dijuluki makluk sosial, buat
saya itu berarti manusia itu tak hanya mampu berinteraksi, tetapi juga harus
memiliki toleransi.
Perkelahian sering terjadi karena kebanyakan sosialisasi dan
sangat kurang dalam toleransi. Belum lama ini, saya menyaksikan film berjudul
The Beaver. Saya miris melihat ada anak begitu kasarnya berbicara kepada
ayahnya. Tidak adanya toleransi yang sering membuat anak itu lupa bahwa
orangtuanya hanya manusia biasa seperti dirinya yang tak bisa selalu benar dan
tak bisa selalu baik. Tidak adanya toleransi
membuat kalimat put yourself in the same shoes susah untuk diterjemahkan
bahkan oleh penerjemah piawai sekalipun.
“Seandainya, gue bisa enggak punya ortu kayak ortu gue” atau
“mending hidup sama temen daripada saudara sendiri, jauh lebih enak.” Saya
percaya anda pernah mendengar atau mungkin saya pernah keceplosan berbicara
seperti itu. Saya tak tahu situasi hubungan anda dengan orangtua, tetapi buat
saya makluk sosial itu juga berarti jago berinteraksi dengan orang lain dan
terutama orang dalam. Berinteraksi dengan orang luar akan mudah, sebab mereka
bukan saudara sendiri.
Saya memang belum pernah punya ayah yang memukul, pemerkosa,
dan koruptor. Saya juga tak pernah memiliki ibu yang pelacur, yang menjadi
simpanan, yang lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah ketimbang bersama
anak-anaknya, yang memiliki masa lalu begitu suramnya. Saya juga tak pernah
memiliki suasana dimana ayah dan ibu berteriak dan berkelahi dihadapan
anak-anaknya sehingga sebagai anak saya mencontoh dan menganggap itu sebuah
periilaku yang benar sehingga saya menjadi manusia yang mudah marah, reaktif,
dan juga berteriak kasar dimana saja dan kapan saja.
Saya mohon maaf kalau tak bisa menyelami hal itu. Mungkin
artikel ini terlalu mudah untuk saya menuliskan hal-hal mengenai kerukunan
saudara sedarah hanya karena mendengar cerita tiga wanita ayu diatas.Tulisan
ini hanya sebuah sharing senangnya bisa memiliki toleransi yang begitu tinggi
sehingga perjalanan hidup berkeluarga itu begitu menyenangkan untuk dilakoni.
Menjalani tanggungjawab dengan rasa sukacita yang besar. Ya sebagai orangtua,
ya sebagai anak.
Dan ketika anda sebagai anak meninggalkan dunia ini, saya
hanya berharap anda “pulang kerumah” dengan hati yang memaafkan meski didetik
yang paling akhir sekalipun.
(Sumber: Parodi :
Anak – Samuel Mulia, Kompas 21 Juli 2011)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar