Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Anak


Dan ketika anda sebagai anak meninggalkan dunia ini, saya hanya berharap anda “pulang kerumah” dengan hati yang memaafkan meski didetik yang paling akhir sekalipun. 

Anak memiliki tanggungjawab tak hanya berteriak, melainkan juga mampu menguasai diri untuk merangkul kembali dengan rasa maaf dan cinta tak berkurang.


Manajer iklan ditempat klien saya bekerja memiliki hubungan persaudaraan yang teramat rukun. Ia seorang wanita, lahir sebagai anak pertama dengan tiga adik. Dua wanita dan yang paling bontot seorang pria muda berusia belasan tahun, yang kalau tidur masih bisa memeluk salah satu dari ketiga kakaknya.


Rukun
Kerukunan itu tak berhenti saat anak ketiga menikah, bahkan dengan ipar mereka. Dalam kasus-kasus tertentu, dimana salah satunya membutuhkan bantuan, kakak beradik itu siap mengulurkan bala bantuannya. Menurut cerita si sulung, adiknya yang kedua adalah manusia yang pemberani dalam keluarga. “Dia itu satpam keluarga kita mas.”

Cerita itu saya dengarkan saat kami makan malam bersama tanpa kehadiran sibontot dan berbincang sampai nyaris tengah malam. Sejuta cerita yang tak ada habisnya. Kami berpisah di lobi hotel. Kakak beradik itu pulang dalam satu taksi dan berencana menginap di rumah ibunya. “Seneng deh kalau sudah pulang ke rumah Mama. Adik saya yang ketiga dan suaminya tingga bareng, jadi masih bisa ketemuan. Ramai deh Mas.” Jelas si sulung. Ia masih melanjutkan lagi. “Si satpam mau menikah bulan September dan diboyong ke negeri orang. Saya sudah ngebayang akan kehilangan dia, Mas.”

Taksi membawa pulang saya ke rumah menembus malamnya Jakarta. Kalau sudah duduk dengan perut penuh, biasanya kelopak mata selalu saja beraksi mau tertutup. Namun, untuk sesaat, hal itu tak terjadi. Kepala ini dipenuhi cerita kerukunan kakak beradik itu, yang membuat tersenyum sendiri karena saya ini memiliki kakak dan adik, tinggal berjauhan, dan tak pernah merasa kangen meski hubungan kami baik-baik saja.

Kemudian saya menyimpulkan sendiri sebuah perjalanan kehidupan keluarga. Ya, saya yang menyimpulkan, saya yang tak pernah berkeluarga ini. Begini pemikiran sok tahu itu.


“Put yourself in the same shoes”
Ayah bersama ibu bisa saja menjadi kepala rumah tangga dan menentukan aturan main didalam perjalanan sebuah keluarga. Akan tetapi, memiliki perjalanan kehidupan keluarga yang harmonis tak semata-mata dibebankan kepada orangtua, tetapi juga bagaimana anak-anak membantu mengorganisasi  perjalanan itu.

Anak memiliki tanggungjawab tak hanya berteriak, melainkan juga mampu menguasai diri untuk merangkul kembali dengan rasa maaf dan cinta tak berkurang. Saya teringat kalau manusia itu dijuluki makluk sosial, buat saya itu berarti manusia itu tak hanya mampu berinteraksi, tetapi juga harus memiliki toleransi.

Perkelahian sering terjadi karena kebanyakan sosialisasi dan sangat kurang dalam toleransi. Belum lama ini, saya menyaksikan film berjudul The Beaver. Saya miris melihat ada anak begitu kasarnya berbicara kepada ayahnya. Tidak adanya toleransi yang sering membuat anak itu lupa bahwa orangtuanya hanya manusia biasa seperti dirinya yang tak bisa selalu benar dan tak bisa selalu baik. Tidak adanya toleransi  membuat kalimat put yourself in the same shoes susah untuk diterjemahkan bahkan oleh penerjemah piawai sekalipun.

“Seandainya, gue bisa enggak punya ortu kayak ortu gue” atau “mending hidup sama temen daripada saudara sendiri, jauh lebih enak.” Saya percaya anda pernah mendengar atau mungkin saya pernah keceplosan berbicara seperti itu. Saya tak tahu situasi hubungan anda dengan orangtua, tetapi buat saya makluk sosial itu juga berarti jago berinteraksi dengan orang lain dan terutama orang dalam. Berinteraksi dengan orang luar akan mudah, sebab mereka bukan saudara sendiri.

Saya memang belum pernah punya ayah yang memukul, pemerkosa, dan koruptor. Saya juga tak pernah memiliki ibu yang pelacur, yang menjadi simpanan, yang lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah ketimbang bersama anak-anaknya, yang memiliki masa lalu begitu suramnya. Saya juga tak pernah memiliki suasana dimana ayah dan ibu berteriak dan berkelahi dihadapan anak-anaknya sehingga sebagai anak saya mencontoh dan menganggap itu sebuah periilaku yang benar sehingga saya menjadi manusia yang mudah marah, reaktif, dan juga berteriak kasar dimana saja dan kapan saja.

Saya mohon maaf kalau tak bisa menyelami hal itu. Mungkin artikel ini terlalu mudah untuk saya menuliskan hal-hal mengenai kerukunan saudara sedarah hanya karena mendengar cerita tiga wanita ayu diatas.Tulisan ini hanya sebuah sharing senangnya bisa memiliki toleransi yang begitu tinggi sehingga perjalanan hidup berkeluarga itu begitu menyenangkan untuk dilakoni. Menjalani tanggungjawab dengan rasa sukacita yang besar. Ya sebagai orangtua, ya sebagai anak.

Dan ketika anda sebagai anak meninggalkan dunia ini, saya hanya berharap anda “pulang kerumah” dengan hati yang memaafkan meski didetik yang paling akhir sekalipun.

(Sumber:  Parodi : Anak – Samuel Mulia, Kompas 21 Juli 2011)

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar